Kekerasan atau (bahasa Inggris: Violence ejaan Inggris: [/vaɪ(ə)ləns/] berasal dari (bahasa
Latin: violentus yang berasal
dari kata vī atau vīs
berarti kekuasaan atau berkuasa) adalah dalam prinsip dasar
dalam hukum publik
dan privat Romawi[1]
yang merupakan sebuah ekspresi baik yang dilakukan secara fisik ataupun secara verbal yang
mencerminkan pada tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat seseorang
yang dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok orang[2][3][4] umumnya
berkaitan dengan kewenangannya yakni bila diterjemahkan secara bebas
dapat diartinya bahwa semua kewenangan tanpa mengindahkan keabsahan penggunaan
atau tindakan kesewenang-wenangan itu dapat pula dimasukan dalam rumusan
kekerasan ini.[1]
Akar Kekerasan: Kekayaan tanpa
bekerja, Kesenangan tanpa hati nurani, Pengetahuan tanpa karakter, Perdagangan
tanpa moralitas, Ilmu tanpa kemanusiaan, Ibadah tanpa pengorbanan, Politik
tanpa prinsip.
The Roots of Violence: Wealth
without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character,
Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice,
Politics without principles.
Kasus kekerasan
dalam dunia pelajar dan mahasiswa sekarang ini sudah terlalu banyak, coba saya
ambil salah satu contoh yang masih baru-baru ini terjadi.
Kekerasan diSMAN 6 Jakarta yang melibatkan pelajar dan wartawan
menunjukkan bahwa kekerasan dalam pendidikan masih massif terjadi di Indonesia.
Ini bisa dilihat dari ketika masa awal memasuki sekolah dengan digelarnya Masa
Orientasi Siswa yang cenderung melakukan kekerasan ditingkat juniornya sebagai
balasan ketika siswa tersebut juga merasakan hal yang sama. siswa selalu
menjadi objek garapan kekerasan yang terintegrasi dengan alumni dengan berbagai
latar kelompok yang dibuat ketika disekolah. Sebagai masa training untuk
menjadi anggota harus melalui berbagai fase secara fisik untuk akhirnya masuk
sebagai anggota resmi. Nilai-nilai aturan disekolahpun siswa selalu menjadi
korban, misal mekanisme aturan disekolah sanksi kepada siswa itu murni dibuat
oleh sekolah sepihak tanpa melibatkan pelajar sebagai subjek yang terlibat
dalam aturan tersebut. Dalam kasus ini sudah cukup terlihat apa yg siswa
lakukan, dan juga banyak sekali contoh lain kekerasan yang siswa lakukan,
seperti tawuran, memalak siswa lain, berkelahi, dan banyak lagi..hampir semua
kekerasan itu terjadi dikalangan siswa SMP dan SMA, dan mungkin sekarang sudah
mulai masuk ke siswa SD, dimana mereka mulai diajari oleh alumninya untuk
tawuran, itu sudah terjadi dibeberapa tempat..sungguh sedih rasanya melihat
dunia sekolah yang mulai tercoreng dan melenceng dari jalurnya, mungkin perlu adanya
perombakan system yang ada, seperti pernah di usulkan untuk mengunakan baju
bebas dan bukan seragam sekolah. Saya rasa itu berpengaruh, tapi kurang
efektif, karna dalam dunia mahasiswa saja yang pakai baju bebas masih banyak
kekerasan. Seperti tawuran antar kampus yg masih sering terjadi juga.
Dalam sudut pandang sosiologi, perilaku tawuran termasuk konformitas
perilaku agresivitas kelompok. Sebab pelaku menganggap tawuran sebagai sesuatu
yang normatif dan dianggap sebagai kebenaran kelompok. (Simangunsong, 2004).
Pada titik ini, peran strategis sekolah dapat dimainkan yaitu memberikan
penyadaran kepada siswa dimana tawuran perilaku menyimpang dan memberikan
hukuman bersifat mendidik.
Sumber: http://www.muhammadiyah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar